penulispro.com- Komentar viral “Maneh” dari seorang eks guru honorer untuk Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil cukup menyita perhatian publik.
Tak terkecuali budayawan sunda sekaligus anggota DPR RI Dedi Mulyadi.
Perihal kata “Maneh”, Kang Dedi, sapaan akrabnya, secara khusus menyempatkan diri bertemu dengan sang mantan guru honorer, Muhamad Sabil, untuk berbincang santai sambil sarapan bubur.
Kang Dedi Mulyadi memulai pembicaraan dengan meminta klarifikasi, sebab mungkin penasaran soal motivasi Sabil sehingga menggunakan kata “Maneh” dalam komentar di instagram Ridwan Kamil.
“Boleh panggil maneh ke akang?,” tanya Sabil sambil tertawa, maksud pertanyaannya bercanda.
Kang Dedi segera menjawab, bahwa ia secara pribadi tidak mempermasalahkannya, sembari menjelaskan soal kebudayaan sunda yang memang aslinya tidak mengenal istilah “undak usuk” alias tata krama.
“Di sunda yang asli itu tidak terkena undak usuk. Sunda itu, adalah sunda awal, orang bilang wiwitan, Banten, sebagian Sukabumi sebagian Bogor, ke sananya ke Pakuan Pajajaran, tidak ada tingkatan,” kata Kang Dedi dalam channel youtubenya @KANGDEDIMULADICHANNEL.
“Ada yang di kita biasa ditabukan, bahasa yang sangat dianggap porno di wilayah kita, di sana biasa diucapkan, jadi bahasa undangan,” lanjut Kang Dedi, memberikan wawasan singkat soal sejarah orang sunda.
Dalam posisinya sebagai budayawan, ia menuturkan soal stratifikasi atau tingkatan di masyarakat sunda adalah “saamparan”, “sajajaran”, atau dalam bahasa Indonesianya, satu gelaran, dan sejajar atau setara.
“Artinya, tidak ada stratifikasi, manusia semuanya sama. Orang sunda itu hidup dalam kesetaraan. Teu cacak te menak, semuanya sama (tidak ada orang biasa, tidak ada orang kaya, semua sama),” tuturnya.
Baca Juga: Syabda Perkasa Belawa Dimakamkan Satu Liang Bersama Ibu dan Neneknya di Sragen Jawa Tengah
Dalam perkembangannya, masuklah istilah “Sunda Priangan” yang mendapat pengaruh dari jawa tengah. Di sini, masyarakat sunda mulai terpengaruh soal stratifikasi manusia. Lalu munculah istilah “menak”, ada vauga masyarakat yang menempatkan diri sebagai “keturunan ningrat” dan yang lainnya.
Budaya priangan itu kemudian terus dipelihara, sehingga kita punya perbedaan dalam penggunaan bahasa untuk ke pimpinan atau atasan.
“Ada bahasa ka saluhureun (ke atasan), ka pimpinan, tetapi kalau dalam pandangan saya, bahasa bukan kalimat ‘sia’ atau apapun, tergantung hati, kalo bahasanya halus hatinya benci tetap saja nyelekit (menyakitkan). Kalau bahasa kasar tapi hati kita akrab heureuy (bercanda), ah sia goblog (kamu bodoh), kalo dalam pewayangan yang belum melanggar pakem itu Sunandar Sunarya, itu standar arjuna bisa canda, kalimat goblog anjing itu keluar dari cepot, tapi itu kan canda,” tutur Kang Dedi.
Artikel Terkait
7 Karakter Anak yang Harus Dibentuk Sejak Dini. Wajib Diterapkan Untuk Membentuk Kepribadian Anak!
Manfaat Buah Pare untuk Kecantikan, Ternyata Si Pahit Manfaatnya Legit
Dibayar Setara Rp 10 M, Intip Profil Tutor Les ala Drakor Crash Course In Romance di Dunia Nyata
Strategi Jitu Cara Mencegah Serangan Hacker. Anda Perlu Tahu!
Nasib Sabil, Eks Guru Honorer Viral karena “Maneh”, Fix Jadi Fotografer Kang Dedi Mulyadi? Ini Rincian Gajinya