Simak Asal Usul Budaya Patriarki yang Melekat Kuat, Hingga Stereotip Merugikan Perempuan, Versi Rocky Gerung

- Sabtu, 4 Maret 2023 | 19:00 WIB
Najwa Shihab kembali menyelenggarakan diskusi panel bertajuk "susahnya jadi perempuan part 2" ((sumber gambar: tangkapan layar youtube @NajwaShihab))
Najwa Shihab kembali menyelenggarakan diskusi panel bertajuk "susahnya jadi perempuan part 2" ((sumber gambar: tangkapan layar youtube @NajwaShihab))

penulispro.com - Budaya patriarki yang melekat kuat di masyarakat merugikan posisi wanita dari generasi ke generasi. Intelektual Publik Indonesia yang merupakan pendiri Setara Institute, Rocky Gerung, lantas menguraikan asal usul sistem sosial yang memosisikan laki-laki sebagai tokoh sentral, bahkan pemegang otoritas utama dalam berbagai organisasi sosial.

“Di dalam peradaban, ada semacam ego laki-laki yang sudah ditanamkan sejak narasi awal hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan adalah second sex, dia pasti submissi, perempuan itu relasinya timpang,” papar dosen Universitas Indonesia itu ketika berposisi sebagai salah satu Panelis dalam diskusi bertajuk “Susahnya jadi Perempuan Part 2” yang dipandu oleh jurnalis terkemuka Najwa Shihab. Melalui channel youtube @NajwaShihab, Rocky Gerung menguraikan tentang kata “Male” dan “Female” yang terasa setara, tapi kata “perempuan”adalah kata yang dibentuk secara sosiologis. 

Budaya Patriarki dimulai ketika ada anggapan bahwa hanya 1 sperma yang bisa membuahi banyak indung telur.

Sperma dianggap harus diupayakan melebur ke sel telur untuk membentuk peradaban, sehingga tak heran raja-raja di zaman dulu mengharuskan diri untuk memiliki selir.

“Prinsip harus ada keturunan dari sperma itu, ini menjadi keangkuhan laki-laki,” tutur Rocky.

Keangkuhan tersebut, lanjut Rocky Gerung, kemudian dirawat oleh ilmu pengetahuan.

Bahkan ia mengutip perkataan filsuf paling awal, Aristoteles, yang menyebut perempuan sebagai bayi yang bertubuh besar, akrena otaknya tidak berkembang.

Dosen yang hobi naik gunung ini juga menceritakan tentang perempuan di Italia di masa lalu, yang ingin mempertahankan disertasi untuk menjadi doktor.

Baca Juga: Bikin Ngakak! Adegan di Belakang Layar Drama Korea Crush Course in Romance Menunjukkan Kekompakan Para Pemain

“Dulu perempuan gak ada tradisi mau jadi doktor. Untuk disertasi, jika laki-laki harus diuji 4 orang professor, kalau si perempuan ini diuji oleh 1000 profesor selama 40 hari. Itu udah gak fair,” lanjutnya.

Contoh-contoh yang ia sebutkan di atas merupakan sedikit bukti tentang partiarki yang sudah beroperasi di alam bawah sadar manusia.

Ketika hari ini beberapa orang dari kalangan menengah mengatakan bahwa gender euality sudah tidak perlu lagi dipermasalahkan, itu karena secara individual mereka sudah mendapatkan pemahaman dan berpikir lebih terbuka.

“Tapi untuk masyarakat bawah, ini masih jalan terus,” katanya.

“Bangsa ini masih dalam lato-lato itu, lama lama tolol, karena ga paham bagaimana perempuan dikonstruksikan untuk mengabdi,” lanjut Rocky.

Halaman:

Editor: Meidiana Frikasari

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X